Selama lebih dari tiga abad, Amerika Selatan hidup dalam bayang-bayang kolonialisme Spanyol. Namun, di awal abad ke-19, muncul seorang tokoh revolusioner yang bertekad membebaskan benua itu dari penjajahan. Ia adalah Simón Bolívar, sosok penting dalam sejarah kemerdekaan Amerika Latin yang berhasil membebaskan enam negara sekaligus: Venezuela, Panama, Ekuador, Bolivia, Kolombia, dan Peru.
Anak Bangsawan dengan Semangat Revolusi
Simón Bolívar lahir di Caracas, Venezuela, pada tahun 1783. Ia berasal dari keluarga bangsawan kaya pemilik perkebunan dan budak. Sayangnya, sebelum genap berusia 10 tahun, Bolívar kehilangan kedua orang tuanya. Ia kemudian diasuh oleh pamannya dan mendapat pendidikan privat dari guru-guru terbaik. Salah satu gurunya, Simón Rodríguez, adalah seorang pemuja Revolusi Prancis dan berpengaruh besar dalam pemikiran politik Bolívar.
Pada usia 15 tahun, Bolívar dikirim belajar ke Spanyol. Di sana ia bergaul dengan kalangan bangsawan, termasuk Pangeran Fernando yang kelak menjadi Raja Ferdinand VII. Selama di Spanyol, Bolívar menikah dengan María Teresa Rodríguez del Toro y Alaysa. Namun, istrinya meninggal setahun setelah mereka kembali ke Venezuela. Peristiwa ini sangat mengguncang Bolívar, dan ia bersumpah tidak akan menikah lagi.
Tersentuh Revolusi, Tergugah untuk Berjuang
Untuk mengobati dukanya, Bolívar melakukan perjalanan ke Eropa. Di Paris, ia terpapar langsung dengan semangat revolusi dan pemikiran tokoh-tokoh pencerahan seperti John Locke, Rousseau, Montesquieu, dan Thomas Paine. Di sanalah cita-cita pembebasan Amerika Selatan mulai terbentuk dalam benaknya.
Atas dorongan gurunya, Simón Rodríguez, Bolívar memantapkan tekad politik untuk mengusir penjajah Spanyol. Ia kembali ke Venezuela pada tahun 1806 dan mulai terlibat dalam gerakan kemerdekaan.
Memulai Revolusi: Republik Pertama dan Kedua
Pada 1810, situasi di Spanyol melemah akibat invasi Napoleon. Momentum ini dimanfaatkan oleh rakyat Venezuela untuk memproklamasikan kemerdekaan dan membentuk pemerintahan junta. Bolívar pun dikirim ke Inggris untuk mencari dukungan.
Untuk memperkuat barisan, Bolívar menggandeng Francisco de Miranda, jenderal senior yang pernah berjuang bersama Napoleon dan George Washington. Bersama Miranda, mereka memproklamasikan kemerdekaan Venezuela dan membentuk Republik Pertama. Sayangnya, republik ini runtuh pada 1812 akibat tekanan militer Spanyol, kaum royalis lokal, dan bencana gempa bumi.
Bolívar melarikan diri ke Cartagena dan menulis “Manifesto Cartagena”, berisi evaluasi atas kegagalan Republik Pertama. Ia juga mulai menyusun strategi baru.
Pada 1813, pasukan Bolívar memenangi Pertempuran Cúcuta dan melancarkan kampanye militer spektakuler yang dikenal sebagai “Admirable Campaign”. Ia berhasil merebut Caracas dan membentuk Republik Kedua. Namun, seperti sebelumnya, republik ini kembali runtuh pada 1814 karena serangan balasan dari pasukan Spanyol dan royalis.
Dukungan Haiti dan Kemenangan Strategis
Setelah kegagalan kedua, Bolívar mengasingkan diri ke Jamaika dan menulis Carta de Jamaica, surat penting yang menganalisis perjuangan kemerdekaan. Ia kemudian menuju Haiti, satu-satunya negara merdeka di kawasan itu, dan mendapatkan dukungan dari Presiden Alexandre Pétion.
Pada 1816, Bolívar kembali ke Venezuela. Salah satu langkah pentingnya adalah membebaskan budak dan membagikan tanah kepada rakyat miskin untuk menarik dukungan massa. Ia juga menerbitkan surat kabar mingguan Correo del Orinoco sebagai alat propaganda revolusi.
Dengan basis perjuangan di Sungai Orinoco, Bolívar perlahan merebut kota-kota penting dan menyusun rencana besar untuk menyerbu wilayah Granada Baru. Pada 1819, ia menyeberangi pegunungan Andes dalam kondisi ekstrem dan memenangi Pertempuran Boyacá, yang membuka jalan menuju ibu kota Bogotá.
Lahirnya Gran Colombia dan Kemerdekaan Amerika Selatan
Keberhasilan militer Bolívar memungkinkan terbentuknya negara besar bernama Gran Colombia (Republik Kolombia) pada 1819, mencakup wilayah Venezuela, Kolombia, dan Ekuador. Bolívar diangkat sebagai presiden, dan Francisco de Paula Santander sebagai wakilnya.
Sementara itu, di sisi selatan benua, José de San Martín membebaskan Chili dan Peru. Bolívar kemudian bertemu dengannya dan mengambil alih perjuangan di Peru. Pada 1824, pasukan Bolívar dan Jenderal Antonio José de Sucre berhasil membebaskan Peru dan wilayah yang kelak dinamai Bolivia—menghormati Bolívar sebagai pendirinya.
Perpecahan Internal dan Akhir Tragis
Setelah kemerdekaan diraih, Bolívar menghadapi tantangan baru: konflik internal. Di tubuh Gran Colombia, terjadi pertentangan antara pendukung negara kesatuan sentralistik (seperti Bolívar) dan kaum federalis (seperti Santander). Bolívar meyakini negara harus kuat dan bersatu agar tidak mudah dijajah kembali, sementara lawan politiknya menuntut otonomi lokal.
Konflik ini memicu pemberontakan, bahkan upaya pembunuhan terhadap Bolívar pada 1828. Di Venezuela, José Antonio Páez memberontak, sementara Jenderal José María Córdova menentang kekuasaan absolut Bolívar. Dalam kondisi politik yang terus memburuk, Bolívar mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 1830.
Ia berniat berlayar ke Eropa, namun menderita penyakit tuberkulosis. Simón Bolívar wafat pada 17 Desember 1830, dalam kesepian dan pengasingan, di usia 47 tahun.
Warisan Seorang “El Libertador”
Meski akhir hidupnya tragis, warisan Bolívar begitu besar. Ia bukan hanya membebaskan enam negara dari penjajahan, tetapi juga menanamkan cita-cita persatuan, kebebasan, dan keadilan sosial di Amerika Selatan. Ia dikenal sebagai “El Libertador”, sang pembebas, dan hingga kini tetap menjadi simbol perjuangan melawan penindasan.
Nama Bolívar diabadikan dalam banyak tempat: dari negara Bolivia, kota Bolívar di Venezuela, hingga mata uang Bolívar di negara kelahirannya. Ia adalah sosok yang telah mengubah peta dunia dan menginspirasi generasi setelahnya.(*)
Leave a comment