Perselisihan Warisan Hastinapura
Di tanah Bharata, kerajaan besar Hastinapura dipimpin oleh Raja Pandu. Ia memiliki lima putra dari dua istrinya: Kunti dan Madri. Mereka dikenal sebagai Pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Ketika Pandu wafat, pemerintahan dikendalikan oleh kakaknya yang buta, Destarata. Ia memiliki seratus putra dari permaisuri Gandari, yang disebut Kurawa, dengan Duryudana sebagai pemimpin mereka.
Pandawa dan Kurawa tumbuh bersama, namun perselisihan muncul. Duryudana merasa terancam oleh kepandaian dan kebaikan Pandawa. Maka, dengan licik, ia mengusir Pandawa dari kerajaan lewat permainan dadu yang penuh tipu muslihat dengan bantuan pamannya Sengkuni dari Gandhara.
Pandawa harus menjalani pengasingan selama 13 tahun, termasuk satu tahun dalam penyamaran. Setelah masa itu berakhir, mereka menuntut kembali haknya atas separuh kerajaan.
Namun Duryudana menolak. Diplomasi gagal. Maka, pecahlah perang besar: Bharatayuda.
Medan Kurukshetra: Tempat Terjadinya Bharatayuda
Perang berlangsung di Kurukshetra, sebuah padang luas yang menjadi saksi tumpah darah para kesatria agung. Kedua pihak memiliki bala tentara besar:
-
Pandawa dibantu oleh Kresna, Raja Dwaraka yang juga menjadi sais Arjuna, serta sekutu dari Panchala dan Matsya.
-
Kurawa didukung oleh ratusan raja dan ksatria besar, termasuk Bisma, Drona, Karna, dan Aswatama.
Perang ini bukan hanya perang fisik, melainkan perang nilai: antara dharma (kebenaran) dan adharma (keserakahan dan kebencian).
Hari-hari Berdarah Bharatayuda
Hari 1–10: Bisma Memimpin
Bisma, kakek dari Pandawa dan Kurawa, memimpin pasukan Kurawa. Meski enggan melawan cucunya, ia setia pada tahtanya. Ia tak terkalahkan hingga hari ke-10, ketika Arjuna dengan berat hati menembakkan panah atas petunjuk Kresna, dan Bisma roboh di ranjang panah, tapi tak langsung wafat.
Hari 11–15: Drona Naik Pangkat
Setelah Bisma tumbang, Drona — guru besar Pandawa dan Kurawa — memimpin. Ia bertempur hebat dan menyebabkan banyak korban. Untuk mengalahkannya, Pandawa menyebarkan kabar kematian Aswatama (anak Drona). Drona pun kehilangan semangat, dan Drestajumna, putra Drupada, membunuhnya saat ia bertapa.
Hari 16: Karna Menggila
Karna, saudara tiri Pandawa yang berpihak ke Kurawa, menjadi panglima. Pertarungannya dengan Arjuna menjadi klimaks. Dalam duel epik, Arjuna membunuh Karna saat kereta Karna terperosok dan ia tak bisa bergerak. Kresna menyuruh Arjuna menembak karena Karna dahulu tak berbelas kasih pada Abimanyu.
Hari 17: Gatotkaca Gugur
Gatotkaca, putra Bima, bertempur gagah berani. Ia terbang di udara menebas pasukan Kurawa. Duryudana memanggil Karna dan memberinya senjata pamungkas: Kunta Wijayadanu. Panah itu menewaskan Gatotkaca, dan langit pun bergetar oleh ratapan.
Hari 18: Akhir Perang
Satu per satu kesatria besar Kurawa gugur: Salya, Sangkuni, bahkan adik Duryudana. Akhirnya Duryudana bertarung satu lawan satu dengan Bima. Dengan teknik khusus dari Kresna, Bima menghancurkan pahanya — tempat yang tidak boleh dipukul dalam aturan perang ksatria.
Duryudana gugur. Namun Aswatama tak menerima kekalahan. Bersama dua ksatria terakhir, ia menyusup ke perkemahan Pandawa pada malam hari dan membunuh seluruh anak-anak Pandawa, termasuk Parikesit yang masih dalam kandungan (cucu Arjuna, kelak menjadi raja Hastinapura). Namun Kresna menyelamatkan Parikesit dalam rahim ibunya.
Akhir Bharatayuda: Kemenangan yang Pahit
Pandawa menang, namun dengan hati yang hancur. Semua saudara, anak-anak, dan sekutu terbaik mereka gugur. Mereka sadar bahwa perang meski untuk keadilan, tetap membawa penderitaan.
Yudistira pun naik tahta Hastinapura, tapi penuh luka batin. Kelak, setelah memerintah dengan bijak, kelima Pandawa beserta Drupadi meninggalkan dunia menuju Gunung Mahameru, melepaskan segala keinginan duniawi untuk moksha.
Makna Bharatayuda dalam Kebudayaan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Bharatayuda bukan sekadar perang, melainkan cermin perang batin, antara nafsu dan kebijaksanaan, antara ambisi dan pengabdian. Perang itu harus terjadi agar dunia kembali seimbang.
Wayang kulit menyajikan lakon ini dalam semalam suntuk dengan iringan gamelan dan sinden, menjadi sarana pendidikan moral dan spiritual, bukan hanya hiburan.
Bharatayuda adalah kisah tragedi kemanusiaan, kepahlawanan, pengorbanan, dan karma. Dari kisah ini kita diajak bertanya:
“Apakah perang bisa membawa kemenangan sejati?”
Jawabannya tidak. Kemenangan sejati bukan dalam perang, melainkan dalam menaklukkan diri sendiri, seperti yang dicontohkan oleh Pandawa, terutama Yudistira.
Leave a comment