Aktivis Neni Nur Hayati diserang secara digital usai dikritik Gubernur Jabar. Pakar komunikasi menilai kepala daerah harus membuka ruang dialog, bukan membungkam kritik. Foto Neni diunggah tanpa izin oleh akun resmi Pemprov Jabar.
V-Today, JAWA BARAT – Aktivis demokrasi Neni Nur Hayati melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal itu terjadi setelah akun resmi @diskominfojabar mengunggah fotonya tanpa izin.
Unggahan tersebut memicu serangan digital yang brutal. Neni mendapat ancaman kekerasan, peretasan, serta kekerasan berbasis gender secara online.
Foto Dipasang, Serangan Dimulai
Neni dikenal vokal terhadap isu demokrasi. Ia mengkritik penggunaan dana publik untuk pencitraan dan buzzer.
Pada pertengahan Juli, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengunggah video klarifikasi di Instagram. Dalam video itu, ia menyebut “mbak berkerudung” yang menuduhnya memakai APBD untuk buzzer.
Meski tidak menyebut nama, warganet langsung mengaitkan ucapan itu dengan Neni. Sehari setelahnya, akun resmi Diskominfo Jabar mengunggah ulang video itu, lengkap dengan foto wajah Neni.
Somasi Dilayangkan, Tuntutan Disampaikan
Neni dan kuasa hukumnya, Ikhwan Fahrojih, menyebut tindakan itu sebagai doxing. Mereka menilai unggahan tersebut membuka pintu serangan digital dari pendukung gubernur.
Isi somasi antara lain:
-
Meminta Pemprov meminta maaf secara terbuka dalam 5 hari
-
Menarik semua unggahan yang memuat foto Neni dalam 2×24 jam
Somasi ini dilakukan sebagai langkah awal sebelum jalur hukum ditempuh.
Ancaman yang Nyata dan Menakutkan
Neni mengaku sebelumnya tak pernah mengalami ancaman seperti ini.
“Saya tidak pernah mendapat narasi yang mengancam nyawa saya,” ujarnya. “Kali ini, ancaman menyangkut tubuh saya, bahkan disertai rencana penyiksaan.”
Tak hanya itu, akun TikTok Neni juga diretas. Padahal, akun itu merupakan ruangnya untuk menyuarakan aspirasi politik dan edukasi publik.
Pakar: Kepala Daerah Harus Terbuka terhadap Kritik
Pakar komunikasi publik dari Universitas Padjadjaran, FX Ari Agung Prastowo, menilai sikap Pemprov Jabar keliru.
“Kritik dari masyarakat adalah bagian dari demokrasi,” kata Ari. “Media sosial semestinya menjadi ruang dialog, bukan tempat membalas kritik dengan cara represif.”
Ia menambahkan, pemimpin harus bijak menggunakan media sosial. Kritik publik bisa menjadi dasar dalam menyusun kebijakan berbasis kebutuhan rakyat.
Wakca Balaka: Ini Pembungkaman Kritik
Forum advokasi keterbukaan informasi, Wakca Balaka, mengecam tindakan akun-akun resmi Pemprov Jabar.
Mereka menyebut unggahan yang mencantumkan foto Neni sebagai bentuk pembungkaman. Tindakan itu, kata mereka, menyebarkan ketakutan ke masyarakat agar tidak mengkritik pemerintah.
“Ini mencederai kebebasan berekspresi,” ujar perwakilan mereka, Iqbal T. Lazuardi.
Gubernur Bantah Doxing
Gubernur Dedi Mulyadi membantah telah melakukan doxing.
Ia menyebut tidak mengetahui identitas orang yang mengkritiknya. Menurutnya, ia hanya menjelaskan bahwa tidak ada dana buzzer di APBD Jabar.
Namun, kolaborasi antara akun pribadi gubernur dan akun resmi Pemprov telah menciptakan efek berbahaya bagi kebebasan warga.
Pemimpin Harus Tunjukkan Etika Politik
Menurut Ari, kepala daerah tidak cukup hanya aktif di media sosial. Mereka juga harus punya etika komunikasi yang baik.
“Menjadi pemimpin bukan sekadar tampil,” ujar Ari. “Tapi juga mendengar, menerima kritik, dan bertindak bijak.”
Ari juga menekankan pentingnya membedakan ruang publik digital dan ruang nyata. Keduanya perlu dirawat agar demokrasi tetap hidup.(*)
Sumber BBC Indonesia
- aktivis demokrasi
- Berita Hukum
- buzzer politik
- Daerah
- Dedi Mulyadi
- Diskominfo Jabar
- doxing
- etika komunikasi politik
- FX Ari Agung Prastowo
- Hukum
- kebebasan berpendapat
- kekerasan gender online
- komunikasi publik
- kritik kepala daerah
- Neni Nur Hayati
- Pemprov Jabar
- ruang dialog publik
- serangan digital
- somasi Pemprov
- ujaran kebencian
- UU Perlindungan Data Pribadi
- Wakca Balaka
Leave a comment