Nama Amir Sjarifoeddin sering kali tenggelam dalam sejarah Indonesia, terutama setelah peristiwa Madiun 1948 yang membuatnya dicap sebagai pengkhianat. Padahal, jauh sebelum peristiwa itu, Amir adalah pelaku sejarah penting yang turut melahirkan tonggak persatuan Indonesia: Kongres Pemuda II, 27–28 Oktober 1928.
Di masa ketika belum ada teknologi komunikasi canggih seperti gadget dan internet, para pemuda dari berbagai suku, agama, ras, dan aliran politik berhasil berkumpul, menyatukan gagasan, dan mengikrarkan janji bersama:
Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.
Amir Sjarifoeddin: Bendahara Kongres Pemuda II
Peran Amir dalam Kongres Pemuda II bukan sekadar figuran. Ia duduk dalam jajaran penting kepanitiaan: Bendahara Kongres, bersama Soegondo Djojopuspito (Ketua) dan Mohammad Yamin (Sekretaris).
Dalam bukunya Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia 1918–1930, sejarawan Hans van Miert mencatat bahwa ketika Yamin menyusun draft resolusi Kongres yang kelak dikenal sebagai Sumpah Pemuda, ia terlebih dahulu meminta paraf dari Soegondo, kemudian dari Amir.
“Soegondo membaca surat itu, memandang ke arah Yamin yang tersenyum manis, membubuhkan parafnya, dan menyodorkan ke Amir Sjarifoeddin. Amir berbuat serupa, dan sesudah dia menyusul para anggota Komite Kongres yang lain,” tulis Van Miert.
Artinya, Amir adalah salah satu dari tiga tokoh pertama yang membubuhkan tandatangan pada naskah resolusi Sumpah Pemuda.
Latar Belakang Pendidikan dan Aktivisme Amir
Amir lahir pada 27 April 1907 di Medan. Ia sempat mengenyam pendidikan di Belanda. Pada 1925, Amir pindah ke Gymnasium Haarlem dan aktif dalam perhimpunan siswa di sana. Namun, karena urusan keluarga, ia kembali ke tanah air pada 1927.
Sekembalinya ke Hindia Belanda, Amir melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool) di Batavia (sekarang Jakarta). Di Jakarta, ia tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw di Jalan Kramat 106 — tempat yang juga dihuni oleh Mohammad Yamin, rekannya di kampus dan pergerakan.
Yamin sendiri adalah anggota aktif Jong Sumatranen Bond (JSB) dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) — dua organisasi yang menjadi pendorong utama Kongres Pemuda.
Peran Ganda: PPPI dan Jong Batak
Amir turut aktif dalam PPPI, organisasi lintas etnis yang lahir pada akhir 1926 dan menjadi motor utama Kongres Pemuda II. PPPI bertekad meruntuhkan sekat-sekat kesukuan yang menghambat persatuan gerakan nasional. Selain bersifat politis, PPPI juga membawa misi kebudayaan dan cita-cita Indonesia merdeka.
Di samping itu, Amir juga menjadi pengurus Jong Bataks Bond, organisasi pemuda Batak yang berdiri sekitar tahun 1925, sebagai kelanjutan dari kemunduran Jong Sumatranen Bond.
Dengan peran strategis di dua organisasi ini, Amir menyumbangkan tenaga, pikiran, dan semangatnya dalam menyukseskan Kongres Pemuda II, hingga dipercaya menjadi Bendahara Kongres, mewakili PPPI dan Pemuda Batak.
Setelah Sumpah Pemuda: Pers Mahasiswa dan Politik
Usai Kongres, Amir tak lantas surut dari dunia aktivisme. Ia menjadi Pemimpin Redaksi surat kabar Indonesia Raya, corong resmi PPPI, yang menyebarkan gagasan nasionalisme dan kemerdekaan.
Memasuki tahun 1930-an, Amir semakin dalam terlibat dalam pergerakan politik kiri nasionalis. Ia menjadi propagandis Partai Indonesia (Partindo) dan kemudian bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) — organisasi progresif yang menentang fasisme dan penjajahan.
Melawan Jepang dan Selamat dari Hukuman Mati
Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Amir memimpin gerakan bawah tanah melawan fasisme. Namun, pada 1943 ia tertangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang.
Beruntung, eksekusi tersebut dibatalkan berkat campur tangan Presiden Soekarno. Amir akhirnya dibebaskan pada 1945, menjelang proklamasi kemerdekaan.
Karier Politik Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Amir dipercaya menempati sejumlah posisi penting dalam kabinet:
-
Menteri Penerangan (1945–1946)
-
Menteri Pertahanan (1945–1948)
-
Perdana Menteri Indonesia (1947–1948)
Amir dikenal sebagai tokoh penting dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, terutama pada masa revolusi fisik melawan Belanda.
Dikubur oleh Sejarah: Madiun 1948 dan Eksekusi
Namun, riwayat perjuangan Amir diakhiri secara tragis. Akibat konflik politik dan militer dengan Pemerintah Republik, Amir dituduh terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948, yang dituding sebagai pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia akhirnya ditangkap, diadili secara militer, dan dieksekusi mati tanpa proses hukum yang transparan.
Sejak saat itu, nama Amir dihapus dari sejarah resmi, dan perannya dalam Kongres Pemuda dan perjuangan kemerdekaan nyaris hilang dari buku-buku pelajaran.
Mengembalikan Nama Amir ke Tempat yang Layak
Kini, sejarah memanggil kita untuk mengingat kembali kontribusi besar Amir Sjarifoeddin. Ia bukan hanya tokoh kiri, bukan hanya korban politik, tapi juga pejuang kemerdekaan dan pelopor persatuan nasional.
Dia adalah salah satu penanda tangan pertama Sumpah Pemuda, tokoh lintas budaya yang memperjuangkan Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berkeadaban.(*)
Leave a comment