V-Today, LIFESTYLE – Dari “flirting” dengan kipas di era Regency hingga pemberian hadiah penuh kode, manusia telah menyempurnakan seni mengungkapkan cinta secara terselubung selama berabad-abad. Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah panjang bahasa cinta rahasia ini?
Jika Anda mengunjungi sayap Richelieu di Museum Louvre, Paris, Anda mungkin akan bertemu pandangan seorang mantan Ratu Inggris. Tangannya yang berhias cincin mahal terlipat dengan anggun, bibirnya tersenyum halus. Permata menutupi hiasan kepalanya dan kain merah emas gaunnya. Kalung salib kecil tergantung di lehernya, menandakan statusnya. Ia adalah Anne of Cleves, yang potretnya yang memesona—dilukis oleh Hans Holbein the Younger—cukup untuk membuat Raja Henry VIII melamarnya pada tahun 1539.
Namun, potret bisa menipu. Meski terlihat memikat dalam lukisan, pertemuan pertama Anne dan Henry begitu canggung hingga pernikahan mereka tidak pernah dikonsumasi, dan dibatalkan enam bulan kemudian.
Meski tampak kuno, praktik memamerkan potret calon pasangan sebenarnya kembali hadir dalam bentuk modern—melalui aplikasi kencan. Seperti di masa lalu, kita kini menilai calon pasangan hanya dari gambar dan sedikit informasi.
Isyarat Cinta Tanpa Kata
Sebagian besar interaksi kencan saat ini dimulai secara digital. Kita terpapar ratusan profil yang disaring algoritma, seperti potret zaman dahulu yang menyimpan harapan dan makna. Banyak kode cinta non-verbal yang bertahan, lainnya hilang ditelan zaman.
Sally Holloway, peneliti dari Oxford Brookes University dan penulis The Game of Love in Georgian England, menyebutkan bahwa era Regency (sekitar awal 1800-an) adalah masa subur bagi romantika dan sinyal cinta diam-diam. Di sana berkembang apa yang disebut sebagai “bahasa kipas” atau fan flirting.
Pada tahun 1797, Charles Francis Bandini menciptakan Fanology, sebuah kipas yang mencantumkan alfabet tersembunyi menggunakan posisi tangan—mirip dengan kode semafor pelaut. Dengan kipas, wanita bisa berkirim pesan rahasia di tengah pesta dansa tanpa mengucapkan sepatah kata.
Selain kipas, parfum digunakan untuk membangkitkan gairah, dan surat cinta dioleskan aroma untuk memikat hati. Pria memberikan bunga, lukisan mini, dan buku, sementara wanita membalas dengan sulaman tangan dan bunga violet—simbol kesetiaan dan kejujuran.
Hadiah paling bermakna? Sepotong rambut dan cincin—simbol keabadian dan pernikahan.
Kartu Potret: Cikal Bakal Profil Kencan Modern
Di era Victoria, muncul cartes de visite—foto potret berukuran kecil yang bisa dikirim kepada calon kekasih. Murah dan mudah dibuat, kartu ini bisa menjadi viral, seperti unggahan Instagram saat ini. Gaya, pose, dan latar menjadi sarana menyampaikan kepribadian dan status sosial.
Menurut John Plunkett dari Universitas Exeter, orang sengaja memilih latar dan properti yang mewakili status atau profesi mereka—persis seperti pemilihan latar dan filter di aplikasi kencan saat ini.
Sistem Tabung dan Flirting di Klub Berlin 1920-an
Pada 1920-an, Berlin menjadi kota pesta dan cinta modern. Di klub malam Residenz-Casino (Resi), pengunjung bisa berkirim pesan dan hadiah melalui sistem tabung pneumatik. Pesan dan hadiah—bahkan kokain—dikirim dalam kapsul ke meja tujuan. Operator akan menyensor isi pesan, layaknya moderasi konten media sosial sekarang.
Melihat reaksi si penerima dari kejauhan memberikan sensasi tersendiri: spontan, jujur, menggoda. Teknologi menjadi alat penghubung rasa, bahkan dalam keramaian.
Isyarat Rahasia dalam Budaya LGBTQ+
Dalam sejarah yang penuh represi, komunitas LGBTQ+ menciptakan simbol-simbol rahasia. Oscar Wilde, misalnya, mempopulerkan green carnation (anyelir hijau) sebagai simbol gay pada akhir abad ke-19.
Sarah Prager, penulis Queer, There and Everywhere, menyebut bahwa banyak simbol queer seperti warna ungu, lavender, hingga bunga violet telah digunakan sejak zaman Sappho, penyair Yunani kuno.
Aksesori seperti anting, tato, dan busana pun kini menjadi alat untuk menyampaikan identitas seksual secara visual—menciptakan rasa aman, komunitas, dan pengakuan.
Cinta, Teknologi, dan Kode yang Terus Berevolusi
Dari simbol bunga dan kipas, ke kartu potret, hingga profil digital dan emoji—manusia terus menciptakan cara untuk menyampaikan cinta secara diam-diam. Teknologi hanya alat; yang abadi adalah keinginan kita untuk terhubung.
Profesor Jennifer Evans dari Carleton University menyimpulkan: “Kita terus menciptakan cara untuk bicara satu sama lain, mengekspresikan keinginan, dan membentuk kedekatan. Ini menunjukkan betapa kuatnya hasrat manusia untuk saling terhubung.”(*)
Leave a comment