V-Today, NASIONAL – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, resmi dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dan perintangan penyidikan KPK.
Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025), dan menjadi sorotan nasional, mengingat posisi strategis Hasto di partai penguasa serta dugaan kriminalisasi politik yang menyertai proses hukum ini.
Tuntutan Jaksa: Hasto Diduga Beri Suap dan Halangi KPK
Dalam pembacaan tuntutan, jaksa menyatakan bahwa Hasto terbukti bersama pihak lain memberikan suap kepada eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan, serta turut serta menghambat penyidikan KPK atas kasus yang menyeret nama Harun Masiku — politikus PDIP yang hingga kini masih buron.
Respons Hasto: “Saya Memperjuangkan Demokrasi, Bukan Suap”
Usai mendengarkan tuntutan, Hasto keluar dari ruang sidang dengan mengepalkan tangan dan menyerukan “Merdeka!”. Ia menuding proses hukum yang dihadapinya sebagai bentuk kriminalisasi atas sikap politiknya.
“Saya memperjuangkan demokrasi, pemilu yang jujur dan adil, serta supremasi hukum agar hukum tidak digunakan sebagai alat kekuasaan. Sikap ini membuat saya dikriminalisasi,” ujar Hasto kepada media.
Ia juga menyatakan bahwa nota pembelaan (pledoi) pribadinya telah rampung 80 persen, dan akan dibacakan dalam sidang lanjutan pada Kamis, 10 Juli 2025.
Tim Kuasa Hukum Hasto: “Ini Bukan Tuntutan Hukum, Tapi Politik”
Tim kuasa hukum Hasto, yakni Ronny Talapessy, Patra M. Zen, dan Maqdir Ismail, memberikan pembelaan keras terhadap tuntutan jaksa yang dianggap tidak berdasar.
Ronny Talapessy menyatakan bahwa jaksa gagal menghadirkan bukti yang menunjukkan keterlibatan langsung Hasto:
“Tuntutan ini hanya merangkai ulang narasi lama penyidik dan tidak berpijak pada bukti nyata di persidangan. Tidak ada saksi yang melihat atau mendengar langsung Hasto menerima atau memberikan suap,” tegas Ronny.
Ia juga menuding jaksa melanggar asas due process of law, karena terlalu mengandalkan logika tanpa bukti sah.
Sementara itu, Patra M. Zen menyebut kasus ini sebagai kriminalisasi politik:
“Ini bukan peradilan tindak pidana korupsi, ini adalah panggung politik. Tuduhan perintangan penyidikan pun tidak masuk akal. Kalau benar ada perintangan, mengapa penyidikan berjalan hingga persidangan?” katanya.
Maqdir Ismail: Ada Tekanan Politik agar Hasto Mundur
Pengacara senior Maqdir Ismail menilai bahwa kasus ini tidak bisa dipisahkan dari dinamika internal PDIP dan politik nasional. Ia mengungkapkan bahwa Hasto mendapat tekanan politik sejak Desember 2024.
“Jika Hasto mundur dan tidak memecat Presiden Jokowi sebagai kader PDIP, maka ia dijanjikan tidak akan dipidanakan. Ini bukan soal hukum semata, ini soal perebutan kekuasaan di balik layar,” ujar Maqdir.
Ia juga mempertanyakan validitas Call Detail Record (CDR) sebagai alat bukti yang digunakan jaksa, yang menurutnya tidak konsisten secara logika waktu dan lokasi.
Sidang Lanjutan 10 Juli: Pledoi Akan Jadi Penentu
Sidang lanjutan akan digelar pada 10 Juli 2025, di mana Hasto Kristiyanto dan tim hukumnya akan membacakan pledoi. Mereka berharap majelis hakim dapat memutus perkara berdasarkan fakta persidangan dan prinsip keadilan hukum.
Leave a comment