Ibrahim Traoré, seorang kapten tentara berusia 35 tahun asal Burkina Faso, mendadak menjadi pembicaraan dunia. Potongan video pidato-pidatonya yang menggelegar dalam pertemuan KTT Rusia-Afrika tersebar luas di media sosial. Sorotan utamanya bukan hanya karena gaya bicaranya yang lantang, tetapi juga karena substansi ucapannya yang menggugah kesadaran kolektif rakyat Afrika.
“Pertanyaan yang diajukan generasi saya adalah… kami tidak mengerti bagaimana mungkin Afrika, dengan kekayaan alam yang luar biasa—air, tanah, sinar matahari yang melimpah—malah menjadi benua termiskin, bahkan benua yang kelaparan?”
Begitu salah satu kutipan tajam dari Traoré yang mengguncang forum tersebut.
Pidato yang Menggema Semangat Revolusi
Pidatonya tak hanya menjadi viral, tetapi juga membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap dominasi asing di Afrika. Ia berbicara tentang perjuangan, tentang keteguhan rakyat Burkina Faso, dan keyakinan bahwa bangsanya tak membutuhkan belas kasihan dari siapa pun.
“Nenek moyang kami mengajari kami satu hal: seorang budak yang tidak bisa memberontak, tidak pantas untuk dikasihani. Kami tidak mengasihani diri sendiri. Rakyat Burkina Faso telah memutuskan untuk melawan, melawan terorisme, dan membangun kembali negeri mereka.”
Traoré menutup pidatonya dengan seruan berani: “Tanah air atau mati, kami akan menang!” Sebuah kalimat yang langsung mengingatkan publik dunia pada pidato legendaris Che Guevara di PBB tahun 1964, yang juga mengecam neokolonialisme Barat di berbagai belahan dunia, khususnya di Afrika dan Amerika Latin.
Dari Kudeta ke Kursi Presiden
Traoré kini menjabat sebagai Presiden interim Burkina Faso setelah militer melakukan kudeta pada September 2022. Dalam waktu singkat, ia mengambil langkah-langkah radikal yang menggemparkan dunia.
Salah satu kebijakan paling kontroversialnya adalah mengusir pasukan Prancis dari Burkina Faso pada Januari 2023. Prancis selama ini hadir dengan alasan “memerangi terorisme”, namun menurut Traoré dan banyak rakyat Burkina Faso, justru setelah kehadiran Prancis, kelompok “jihadis” semakin kuat dan brutal.
“Kami sangat kecewa dengan Prancis. Jika mereka sungguh-sungguh ingin menghentikan terorisme, mereka bisa melakukannya dalam dua hari. Tapi kekerasan ini justru demi kepentingan mereka sendiri, untuk memastikan kami tetap bertekuk lutut,” ujar Yéli Monique Kam, seorang aktivis Burkina Faso.
Keputusan untuk mengusir Prancis disambut dengan demonstrasi besar-besaran di ibu kota Ouagadougou, di mana ribuan warga memenuhi Place de la Nation, meneriakkan dukungan bagi Traoré dan tuntutan agar Prancis segera angkat kaki dari negeri mereka.
Pasukan Rakyat dan Stigma Barat
Sebagai pengganti kehadiran militer asing, rakyat Burkina Faso membentuk kelompok sukarelawan bernama Volunteers for the Defense of the Homeland (VDP). Kelompok ini dianggap sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap ancaman terorisme, tanpa campur tangan asing.
Namun, Barat menyebut VDP sebagai “milisi”. Traoré menanggapi dengan pedas:
“Kami heran, di Eropa, ketika rakyat mengangkat senjata membela tanah air, mereka disebut patriot. Tapi ketika kami membela tanah kami sendiri, kami dicap milisi. Kakek kami pernah dikirim untuk menyelamatkan Eropa, dan ketika menuntut haknya, mereka dibantai di Thiaroye.”
Mencabut Warisan Neokolonial: Pajak Ganda dan Franc CFA
Langkah revolusioner lainnya datang pada Agustus 2023. Pemerintah Traoré mencabut perjanjian pajak ganda yang telah diteken dengan Prancis sejak 1965. Perjanjian itu memungkinkan perusahaan Prancis menghindari pajak ganda meskipun mereka meraup keuntungan besar dari bisnis di Burkina Faso. Akibatnya, kekayaan alam Burkina Faso dikeruk tanpa kontribusi adil kepada negara.
Sebagai respons, Prancis menghentikan seluruh bantuan dana ke Burkina Faso, terutama setelah negara itu menyatakan dukungan terhadap kudeta anti-Prancis di Niger.
Lebih dalam lagi, Burkina Faso, bersama Mali dan Niger—tiga negara bekas koloni Prancis—menentang sistem finansial kolonial seperti penggunaan mata uang Franc CFA. Mata uang ini dipatok ke Euro dan dijamin oleh Prancis, tetapi sebagai imbalannya, negara-negara pengguna CFA harus menyimpan 50% cadangan devisa mereka di bank Prancis. Akibatnya, negara-negara tersebut tak memiliki kedaulatan penuh atas keuangannya.
Data menunjukkan bahwa 11 dari 14 negara pengguna CFA justru tergolong negara-negara “paling tidak berkembang” menurut klasifikasi PBB (King, 2022).
Pertanyaan yang Tak Bisa Diabaikan
Saat ini, hampir setengah dari rakyat Burkina Faso hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut situs reliefweb.int, sekitar 2,2 juta orang mengalami kelaparan, dan lebih dari 600 ribu di antaranya menghadapi kelaparan ekstrem.
Traoré menggugat ketidakadilan ini:
“Mengapa, dengan tanah yang kaya raya dan sinar matahari melimpah, rakyat kami justru kelaparan?”
Sebuah pertanyaan yang tak hanya menyentuh hati rakyat Afrika, tetapi juga mengguncang nurani global.
Menuju Afrika yang Merdeka?
Traoré, bersama pemimpin-pemimpin baru Mali dan Niger, telah menjadi simbol gelombang baru perlawanan terhadap neokolonialisme. Mereka menolak tunduk, menolak dijadikan pasar dan ladang eksploitasi. Mereka menuntut kedaulatan, harga diri, dan masa depan yang lebih adil.
Apakah perjuangan ini akan berhasil? Sejarah akan menjawabnya. Namun yang pasti, semangat perlawanan telah menyala kembali. Sebagaimana dulu Bung Karno menyuarakan di Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung:
“Neokolonialisme adalah bentuk penjajahan baru, yang lebih licik dan tersembunyi, tetapi tak kalah mematikan.”
Kini, suara perlawanan itu kembali bergema dari Ouagadougou, dari tanah yang panas dan tandus, tetapi penuh semangat juang: Tanah air atau mati, kami akan menang!.(*)
Leave a comment