Tiga versi berbeda soal pertemuan Soeharto dan Kolonel Latief menguak dugaan kebohongan besar dalam sejarah 1965.
Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) 1965 baru saja selesai digelar di Den Haag, Belanda. Meski bukan pengadilan resmi PBB, hasilnya menjadi pukulan moral dan sejarah bagi Indonesia.
IPT 1965 menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM dalam tragedi 1965, termasuk pembantaian massal, penyiksaan, kerja paksa, pemenjaraan tanpa proses hukum, dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Pengadilan ini juga menuding adanya dukungan dari negara-negara asing seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Namun sorotan terbesar justru kembali tertuju pada satu nama: Soeharto. Benarkah ia sekadar “penyelamat” negara pasca-G30S, atau justru aktor kunci yang memanfaatkan situasi?
G30S: Kudeta Gagal yang Picu Tragedi Nasional
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal TNI AD diculik dan dibunuh oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Gerakan 30 September (G30S). PKI langsung dituding sebagai dalang, tanpa proses pembuktian di pengadilan.
Pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI pun berlangsung brutal dan sistematis. Namun siapa sebenarnya dalang G30S masih menjadi misteri. Banyak tokoh yang bisa memberi kesaksian—seperti D.N. Aidit dan Njoto—dibunuh tanpa sempat bicara di pengadilan.
Tiga Versi Soeharto Soal Latief: Bohong atau Lupa?
Salah satu kejanggalan besar dalam peristiwa G30S adalah pertemuan antara Soeharto dan Kolonel Latief, salah satu tokoh kunci G30S. Fakta ini pertama kali dibongkar oleh Prof. W. F. Wertheim, sosiolog asal Belanda yang pernah mengajar di Indonesia.
1. Versi Brackman (1970): Latief Menjenguk Anak Soeharto
Dalam buku The Communist Collapse in Indonesia, Soeharto mengaku bahwa Latief datang ke rumah sakit malam 30 September untuk menjenguk anaknya yang terkena luka bakar.
“Saya terharu atas keprihatinannya. Tapi ternyata malam itu Latief datang bukan untuk menjenguk, melainkan untuk mengecek saya…” – Soeharto ke Arnold Brackman
Wawancara ini diperkirakan dilakukan sekitar 1967–1968.
2. Versi Der Spiegel (1970): Latief Mau Membunuh Soeharto
Dalam wawancara dengan media Jerman, Der Spiegel, Soeharto malah mengaku Latief datang untuk membunuh dirinya di rumah sakit.
“Tetapi ia tidak berani melakukannya di tempat umum.” – Soeharto, Der Spiegel, 20 Juni 1970
Wertheim mempertanyakan: jika benar mau membunuh, mengapa datang 4 jam lebih awal, sebelum operasi militer dimulai?
3. Versi Otobiografi (1989): Tidak Ada Pertemuan
Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Soeharto menyebut tidak ada pertemuan langsung, ia hanya melihat Latief dari kejauhan melintas di koridor rumah sakit.
Kata Kolonel Latief di Pengadilan: Soeharto Tahu dan Setuju
Dalam sidang militer 1978, Kolonel Latief menyatakan secara terang bahwa ia menemui Soeharto malam itu untuk meminta restu atas rencana gerakan.
“Soeharto menyetujui. Ia tidak pernah mengeluarkan perintah untuk melarang,” ungkap Latief.
Permintaan agar Soeharto dan Ibu Tien dihadirkan sebagai saksi ditolak pengadilan.
Wertheim: Siapa yang Paling Diuntungkan dari G30S?
Prof. Wertheim menyebut bahwa Soeharto adalah pihak yang paling diuntungkan dari G30S, dan oleh karena itu pantas dicurigai sebagai dalang sesungguhnya. Apalagi, setelah peristiwa itu, ia langsung mengambil alih komando TNI, lalu naik ke puncak kekuasaan sebagai Presiden selama 32 tahun.
Anehnya, meskipun sudah mengetahui para jenderal sedang diburu, Soeharto tidak mengontak mereka untuk memberi peringatan, tapi malah pulang ke rumah dan tidur.
Penutup: Sejarah yang Belum Usai
Tragedi 1965 menyisakan banyak luka dan pertanyaan. Hasil IPT 1965 mungkin tidak bersifat mengikat secara hukum, tapi membuka kembali diskusi penting tentang kebenaran sejarah Indonesia. Termasuk soal siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas pembantaian, dan apakah Soeharto menyembunyikan sesuatu dari rakyat Indonesia.
Leave a comment