V-Today, INTERNASIONAL — Lebih dari 500 ribu warga Afghanistan telah dideportasi dari Iran dalam kurun waktu hanya 16 hari, sejak berakhirnya konflik berdarah antara Iran dan Israel. Data ini diungkap oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan disebut sebagai salah satu arus pengusiran terbesar dekade ini.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sebanyak 508.426 warga Afghanistan telah meninggalkan Iran melalui perbatasan Iran-Afghanistan sejak 24 Juni hingga 9 Juli 2025. Lonjakan terjadi menjelang tenggat waktu yang ditetapkan Iran pada Minggu lalu, yang memerintahkan warga Afghanistan tanpa dokumen sah untuk segera keluar dari wilayahnya.
Puncaknya terjadi pada hari Jumat, dengan 51.000 orang dideportasi dalam satu hari. Sementara pada Selasa dan Rabu, masing-masing tercatat 30.635 dan 33.956 orang melintasi perbatasan.
Pemerintah Iran menuduh sebagian warga Afghanistan terlibat dalam aksi spionase untuk Israel selama konflik berlangsung. Namun hingga kini, tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim tersebut. Banyak pihak meyakini bahwa tuduhan itu hanya digunakan sebagai dalih untuk menekan populasi migran ilegal yang sudah lama menjadi target pengusiran.
“Setengah dari total warga yang dipulangkan sepanjang tahun ini terjadi sejak 1 Juni, dan hanya dalam sepekan di bulan Juli saja, jumlahnya mencapai 250 ribu orang,” kata Mihyung Park, kepala misi IOM untuk Iran dan Afghanistan, kepada CNN.
Park juga mencatat sekitar 400 anak-anak tanpa pendamping turut dalam gelombang deportasi pekan lalu. “Situasinya sangat darurat, terutama di perbatasan Herat, di mana suhu bisa mencapai 40 derajat Celsius. Orang-orang berdiri di bawah terik matahari tanpa perlindungan,” ujarnya.
Rekaman video dari perbatasan Islam Qala menunjukkan ratusan migran menunggu pemrosesan, banyak di antaranya telah tinggal bertahun-tahun di Iran namun hidup dalam kondisi semi-permanen tanpa dokumen resmi.
Bashir, seorang pria muda yang diwawancarai di perbatasan, menceritakan pengalamannya ditangkap oleh polisi di Teheran. “Mereka mengambil 10 juta toman (sekitar $200), lalu membawa saya ke pusat tahanan. Saya dipaksa bayar lagi 2 juta toman ($50). Di sana tidak ada makanan, tidak ada air. Kami dipukuli dan dihina,” katanya.
Parisa, gadis 11 tahun yang dideportasi bersama keluarganya, mengaku dilarang melanjutkan sekolah. “Kami sudah tinggal enam tahun di Iran. Kami punya dokumen sensus yang legal, tapi tetap dipaksa keluar,” katanya. Kini, dengan pendidikan anak perempuan yang dibatasi Taliban di Afghanistan, masa depannya kembali terancam.
PBB dan organisasi hak asasi manusia mengecam keras tindakan Iran. Richard Bennett, pelapor khusus PBB untuk Afghanistan, menulis di platform X:
“Ratusan warga Afghanistan dan minoritas agama/etnis ditahan di Iran atas tuduhan ‘spionase’. Juga ada laporan provokasi diskriminasi di media, dengan pelabelan yang merendahkan martabat mereka.”
Namun pemerintah Iran tetap bersikukuh. Fatemeh Mohajerani, juru bicara pemerintah Iran, menyatakan pada 1 Juli, “Kami selalu berusaha menjadi tuan rumah yang baik. Tapi keamanan nasional adalah prioritas. Warga asing ilegal harus kembali ke negara asal.”
Televisi pemerintah juga menayangkan pengakuan seorang pria yang dituduh sebagai mata-mata Afghanistan untuk Israel, meski tanpa bukti kuat atau identitas yang jelas. Tayangan lain menunjukkan aparat memburu dan menangkap migran, sebagian besar dari Afghanistan, di ladang-ladang terbuka.
Sementara itu, para deportan dibawa naik bus dan dikawal ke lokasi yang tidak diketahui. Seorang koresponden bertanya pada seorang majikan di Teheran:
“Kenapa Anda mempekerjakan orang Afghanistan? Itu melanggar hukum.”
Majikan itu menjawab, “Saya tahu. Tapi saya harus membayar mereka supaya mereka bisa pulang. Mereka hanya menunggu dibayar.”
Situasi ini menunjukkan bagaimana isu keamanan nasional dapat digunakan untuk menekan kelompok rentan, sementara nasib ratusan ribu pengungsi dan anak-anak terombang-ambing di tengah konflik dan kebijakan keras tanpa solusi kemanusiaan yang memadai.(AL)
1 Comment