“Slompret ngempret
Kempul ngungkul
Kendhang riyel ketipung imbal
Bonang loro tur slendro
Slompret pelog
Jaran kepang nyongklang
Merake iker
Macan mangap megap-megap
Bujangganong kaleyang kiprah
Wus nyata kagungan reyog
Prasaja gawe gembira.”
— Ki Nartosabdo
Larik-larik tembang di atas menggambarkan gegap gempita sebuah seni rakyat yang dikenal di Jawa Timur, yaitu reyog. Di antara iringan musik slendro-pelog dan parade topeng serta jaran kepang, terdapat satu tokoh sentral yang lekat dalam mitologi dan sejarah tanah Jawa: warok.
Namun, menariknya, istilah “warok” itu dalam beberapa penggalan narasi sejarah, terutama yang diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arok-Dedes, beresonansi dengan nama seorang tokoh besar dalam sejarah Jawa: Ken Angrok.
Antara “Rok”, Warok, dan Angrok
Dalam tafsir Pram, kata “Rok” pada “Angrok” merujuk pada seseorang yang jago gelut, jago bertarung, pendekar jalanan, atau kalau dalam istilah Ponorogo: warok. Artinya, Ken Angrok tidak lahir dari silsilah darah biru kerajaan, tetapi dari jalanan. Seorang rakyat biasa, bahkan dicitrakan sebagai anak Ken Endok, yang konon tak jelas asal-usul bapaknya.
Citra “urakan”, liar, bahkan kriminal itu tak lepas dari upaya menjelaskan bahwa Angrok adalah anak zaman, bukan pewaris kekuasaan. Dalam kosmologi politik Jawa, ia adalah “sabrang”—datang dari luar sistem yang mapan, bukan bagian dari wangsa penguasa seperti Sanjaya atau Sailendra.
Namun, apakah benar citra “urakan” itu mewakili kepribadian sejati Ken Angrok?
Antara Strategi Politik dan Kebengisan
Dalam novel Arok-Dedes, Pram menggambarkan Ken Angrok bukan sekadar jagoan gelap, tapi juga aktor politik yang sabar, cerdas, dan strategis. Ia tak terburu-buru mengambil alih kekuasaan, tapi menunggu momentum, menyusup ke dalam sistem, menjalin relasi dengan kaum Brahmana, dan merebut kekuasaan dari dalam.
Pembunuhan terhadap Tunggul Ametung oleh keris Empu Gandring adalah simbol titik balik kekuasaannya. Dari seorang tanpa status, Angrok menjadi Rajasa, penguasa Tumapel, dan peletak dasar dinasti Singhasari.
Jika kita tarik tafsir Pram lebih jauh, Ken Angrok adalah metafora dari penguasa kontemporer yang berasal dari rakyat biasa, bukan bangsawan, tapi naik ke tampuk kekuasaan melalui kelihaian politik. Bahkan, tak sulit untuk membaca bayangan Soeharto dalam karakter Angrok—seseorang yang memanfaatkan krisis, membiarkan konflik berkembang, lalu merebut legitimasi atas nama stabilitas dan keamanan.
Warisan Kekuasaan: Dari Syiwa ke Singgasana
Salah satu aspek menarik dari masa Ken Angrok adalah pergeseran kepatutan spiritual raja Jawa. Bila sebelumnya raja-raja mengaitkan legitimasi kekuasaan mereka pada Dewa Wisnu (pelindung), sejak Angrok, kepatutan itu berubah kepada Dewa Syiwa (perusak/pencipta ulang). Perubahan ini penting, karena dari Dewa yang menjamin keteraturan, menuju Dewa yang menyambut kekacauan sebagai awal kebangkitan.
Hal ini juga menjelaskan karakter dasar kekuasaan Angrok: bahwa kehancuran, pengkhianatan, bahkan pembunuhan adalah bagian dari proses untuk “membangun ulang” tatanan.
Namun, kepemimpinan yang lahir dari darah dan tipu daya, kerap membawa warisan luka dan dendam. Kutukan Empu Gandring yang tak kunjung tuntas, pemberontakan-pemberontakan di masa Ranggalawe dan Wiraraja pada era Raden Wijaya (Majapahit), adalah residu dari benih-benih kekuasaan yang ditebar Angrok.
Politik Tanpa Budi: Ketika Etika Ditinggalkan
Jika dalam budaya Jawa dikenal istilah “budi”—yang bukan sekadar sopan santun, melainkan kearifan moral dan spiritual—maka warisan Ken Angrok adalah bentuk kekuasaan yang menanggalkan budi demi stabilitas dan tujuan politik jangka pendek.
Dalam catatan sejarah, “politik balas budi” adalah salah satu fondasi tatanan kerajaan Nusantara. Namun, dalam gaya kepemimpinan Angrok, itu ditanggalkan. Mereka yang berjasa tak selalu diberi tempat; mereka yang setia, tak selalu selamat. Lihat saja nasib Ranggalawe, dan kemudian Gajah Mada dalam kisah Majapahit.
Jika Belanda, melalui “politik etis”-nya (meski berlandaskan kepentingan kolonial), bisa mengenali dan menghormati “budi pekerti” sebagai nilai penting dalam masyarakat Timur, maka akan sangat ironis jika bangsa ini, dalam kebudayaannya sendiri, justru membiarkan “budi” dibunuh oleh “ambisi”.
Reyog, Simbol Kekuasaan yang Liar
Kesenian reyog, yang digambarkan dalam tembang Ki Nartosabdo, adalah simbol dari kekuatan liar rakyat, dari bawah, dari jalanan. Warok bukan bagian dari istana, tetapi memiliki wibawa spiritual dan kekuatan fisik yang tak tunduk pada raja.
Jika kita menafsirkan kembali, reyog bukan sekadar seni pertunjukan, tapi juga metafora tentang kuasa yang tidak resmi, yang hidup di luar sistem, tapi tetap punya pengaruh. Seperti Angrok sebelum naik takhta, seperti warok di Ponorogo, atau bahkan seperti rakyat yang diam-diam menggugat ketika negara terlalu angkuh.
Kesimpulan: Kepemimpinan yang Memakan Dirinya Sendiri
Ken Angrok adalah contoh bahwa kekuasaan yang dibangun dari ambisi, kekerasan, dan pengkhianatan, cepat atau lambat akan mewariskan konflik pada generasi setelahnya. Ia adalah pendiri, sekaligus penyemai benih kehancuran.
Dalam masyarakat yang memuliakan “budi pekerti” sebagai fondasi kehidupan, warisan Angrok bisa menjadi pengingat sekaligus peringatan: bahwa kekuasaan tanpa moral bukanlah warisan, melainkan kutukan yang terus berulang.
Di tengah derasnya arus politik hari ini, tafsir atas Angrok tetap penting. Ia mengajarkan bahwa sejarah bukan sekadar soal menang dan kalah, tetapi soal bagaimana kemenangan itu diraih, dan apa yang diwariskan olehnya.
Seperti bunyi kendhang dan bonang dalam reyog, riuhnya kekuasaan dan perjuangan Angrok membentuk simfoni sejarah yang tak selalu harmoni. Dalam gelapnya sejarah Jawa, ada terang yang muncul: bukan untuk memuliakan penguasa, tetapi untuk menghidupkan kembali etika kekuasaan yang berbudi.(red/AL)
Leave a comment