Pada 15 Februari 1966, peluru tentara Kolombia menumbangkan seorang imam muda di tengah hutan. Namun, kematiannya tak membuatnya dilupakan—namanya malah harum di hati buruh, petani, dan kaum miskin kota. Ia bukan hanya imam. Ia adalah pejuang. Seorang revolusioner. Dialah Camilo Torres Restrepo.
Camilo lahir di Bogotá, Kolombia, pada 3 Februari 1929. Ia berasal dari keluarga kelas menengah—ayahnya seorang dokter berpikiran liberal yang memberi Camilo akses pada pendidikan dan pemikiran modern. Camilo sempat mengikuti keluarganya tinggal di Eropa, tetapi kemudian kembali ke Kolombia bersama ibunya usai perceraian orang tuanya.
Sejak muda, Camilo sudah tertarik pada dunia keimanan. Ia menempuh pendidikan di seminari dan ditahbiskan sebagai imam pada 1954. Tak lama setelahnya, ia dikirim ke Belgia untuk mendalami ilmu sosiologi di Universitas Katolik Leuven. Di sanalah ia menulis karya terkenalnya, Proletarisasi di Bogotá—kajian mendalam tentang akar kemiskinan yang mengakar di negerinya. Ironisnya, karya ini baru dipublikasikan pada 1987, dua dekade setelah ia wafat.
Camilo pulang ke Kolombia pada akhir 1950-an dan menyaksikan kenyataan pahit di tanah kelahirannya: kesenjangan sosial yang tajam, kekerasan politik, dan kemiskinan struktural yang tak berkesudahan. Ia kemudian mendirikan Fakultas Sosiologi di Universitas Nasional Kolombia, sekaligus mulai membangun jejaring dengan mahasiswa-mahasiswa progresif.
Namun, semakin ia mendalami struktur ketidakadilan sosial, semakin besar pula keraguannya terhadap gereja yang terlalu nyaman dengan status quo. Ia sadar bahwa kemiskinan bukan takdir, melainkan buah dari sistem ekonomi-politik yang menindas. Ia pun mendalami Marxisme, bukan untuk meninggalkan iman, tapi untuk menyatukannya dalam praksis pembebasan.
“Revolusi bukan hanya diperbolehkan bagi orang Kristen,” tegasnya suatu ketika, “tetapi merupakan kewajiban.”
Pernyataan seperti itu tentu membuat para pejabat gereja konservatif meradang. Kardinal Luis Concha menuding Camilo mencemari ajaran Katolik. Tapi Camilo tetap bergeming. Ia bahkan menyerukan kerja sama antara umat Kristen dan kaum Marxis demi perubahan sosial. Baginya, ajaran Yesus tentang memberi makan yang lapar dan berpihak pada yang miskin adalah amanat revolusioner.
Pada 1964, Camilo mendirikan Front Persatuan, sebuah gerakan akar rumput yang menghimpun kaum miskin kota, petani, mahasiswa, dan buruh—semua mereka yang tak terwakili dalam sistem politik. Front ini menjadi wadah kampanye, aksi massa, hingga pemogokan.
Di tahun yang sama pula, lahir Tentara Pembebasan Nasional (ELN), kelompok gerilya yang terinspirasi dari Revolusi Kuba dan gagasan Che Guevara. Camilo mendekati mereka secara diam-diam. Setelah bertemu langsung dengan pemimpinnya, Fabio Vásquez Castaño, Camilo memutuskan bergabung sebagai pejuang.
Pada 18 Oktober 1965, Camilo Torres resmi menanggalkan jubah imam dan memeluk kehidupan gerilya. Ia menolak posisi khusus dan memilih menjadi prajurit biasa. Di dalam hutan, ia hidup sederhana, berbagi makanan dan mengajar baca-tulis kepada kawan seperjuangan. “Aku tidak ingin menjadi pemimpin,” katanya, “aku hanya ingin melayani sampai akhir.”
Tak sampai lima bulan setelah bergabung, Camilo gugur dalam pertempuran pertamanya, pada 15 Februari 1966. Ia wafat bukan sebagai imam gereja, tetapi sebagai pejuang rakyat. Jasadnya tak pernah ditemukan. Namun, jejak perjuangannya abadi dalam ingatan rakyat Kolombia dan dunia.
Setelah kematiannya, ELN dan Gerakan Kiri Revolusioner (MIR) bersatu dan membentuk Tentara Pembebasan Nasional – Perhimpunan Camilista (UCELN), sebagai bentuk penghormatan terhadap sang imam revolusioner.
Kini, di banyak penjuru Amerika Latin, Teologi Pembebasan terus menjadi obor perjuangan rakyat miskin dan tertindas. Camilo Torres adalah satu dari sedikit sosok yang menjembatani langit dan bumi—iman dan revolusi—untuk satu tujuan: membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan.(*)
Leave a comment