Burkina Faso, negara kecil di Afrika Barat, pernah mengalami momentum emas yang sangat singkat namun menginspirasi dunia. Antara tahun 1983 hingga 1987, di bawah kepemimpinan Kapten Thomas Sankara, negara ini mencatat berbagai lompatan besar dalam reformasi sosial, ekonomi, dan kedaulatan nasional.
Pada 4 Agustus 1983, melalui kudeta militer, Thomas Sankara resmi memimpin negara yang sebelumnya bernama Upper Volta. Langkah pertamanya sangat simbolis dan revolusioner: mengganti nama negara menjadi Burkina Faso, yang berarti “Tanah Orang-Orang yang Berdiri Tegak”.
Revolusi dari Kesederhanaan
Sankara dikenal karena kesederhanaannya. Ia selalu mengenakan baret merah dan seragam militer, menolak dipajang di gedung-gedung, serta hanya menggunakan tiket pesawat kelas ekonomi saat bertugas ke luar negeri. Gajinya kecil, dan ia menolak segala bentuk kemewahan jabatan.
Visinya jelas: membangun negara yang benar-benar merdeka dari imperialisme dan kolonialisme. “Lihatlah piring Anda,” katanya suatu hari. “Jika berisi jagung, beras, dan gandum impor, itulah imperialisme.”
Gebrakan Ekonomi dan Swasembada
Sankara memulai dengan reforma agraria. Ia mendistribusikan tanah kepada petani dan mendorong produksi lokal. Hasilnya luar biasa—dalam waktu singkat, Burkina Faso mampu swasembada pangan.
Di bidang industri ringan, ia mewajibkan penggunaan pakaian lokal bagi para pegawai negeri. Ia sendiri bangga mengenakan pakaian rakyatnya dalam forum internasional. Ia ingin rakyat berdiri dengan hasil produksinya sendiri.
Emansipasi Perempuan dan Revolusi Sosial
Sankara juga dikenal sebagai salah satu pemimpin Afrika yang paling progresif dalam isu kesetaraan gender. Ia melawan praktik kawin paksa, poligami, dan sunat perempuan. Ia juga mendorong partisipasi perempuan dalam pemerintahan, militer, dan pendidikan. Dibentuk pula organisasi perempuan nasional bernama Serikat Perempuan Burkina Faso (UFB).
Pendidikan, Kesehatan, dan Anti-Korupsi
Selama empat tahun pemerintahannya, Sankara meluncurkan program besar-besaran untuk memberantas buta huruf, mengimunisasi jutaan anak-anak, dan membuka akses kesehatan untuk rakyat. Ia juga secara aktif memerangi korupsi dengan memangkas gaji pejabat tinggi dan menindak praktik suap.
Kritik Terhadap Utang Luar Negeri
Salah satu pernyataan paling terkenal dari Thomas Sankara adalah penolakannya terhadap utang luar negeri. “Jika kami tidak membayar utang, pemberi pinjaman tidak akan mati. Tapi jika kami membayarnya, kami yang akan mati,” katanya di hadapan para pemimpin dunia.
Kelemahan dan Kontra-Revolusi
Meski idealismenya tinggi, Sankara juga melakukan sejumlah kesalahan. Ia memberhentikan ribuan guru saat merombak sistem pendidikan dan memberlakukan sistem pengadilan rakyat yang sering disalahgunakan. Ia juga dikritik karena melarang partai politik dan serikat buruh.
Kebijakan-kebijakan ini memperlemah basis dukungannya dan membuka celah bagi kekuatan kontra-revolusioner.
Kematian Thomas Sankara dan Akhir Revolusi
Pada 15 Oktober 1987, Thomas Sankara dibunuh bersama 12 rekannya oleh kelompok kontra-revolusioner yang dipimpin Blaise Compaoré. Banyak laporan meyakini bahwa pembunuhan ini didukung oleh kekuatan asing, termasuk Perancis, yang merasa terusik oleh gerakan anti-imperialis Sankara.
Namun sebelum wafat, Sankara meninggalkan pesan yang tak akan dilupakan:
“Ide-ide tidak bisa dibunuh. Ide tidak akan pernah mati.”
Warisan Abadi Seorang Revolusioner
Hingga kini, Thomas Sankara dijuluki sebagai “Che Guevara dari Afrika” bukan hanya karena penampilannya, tapi juga karena gagasan-gagasannya yang membebaskan dan menyentuh kehidupan rakyat. Kiprah dan perjuangannya diabadikan dalam film dokumenter “The Upright Man” karya Robin Shuffield.
Thomas Sankara mungkin telah tiada, namun ide dan semangatnya terus hidup dalam sejarah perlawanan rakyat miskin di seluruh dunia.
1 Comment