Penulisan sejarah kerap kali berpusat pada tokoh-tokoh besar yang berada di pusaran utama peristiwa. Namun, sering kali terlupakan, mereka yang berada di pinggiran sejarah pun memainkan peran penting, meski kecil. Seperti sekrup dalam sebuah mesin, kehadiran mereka turut menggerakkan roda peradaban.
Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tak hanya rakyat kecil yang gugur tanpa nama, namun juga terdapat sosok asing—orang luar negeri—yang secara sukarela ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Salah satu tokoh yang menarik untuk dikenang adalah K’tut Tantri, seorang wanita asal Skotlandia yang mengabdikan dirinya bagi Republik Indonesia.
Muriel Stuart Walker: Terobsesi Surga Bernama Bali
K’tut Tantri lahir dengan nama Muriel Stuart Walker pada 19 Februari 1898 di Glasgow, Skotlandia. Setelah Perang Dunia I, ia dan ibunya pindah ke California, Amerika Serikat. Di sana, Muriel bekerja sebagai penulis naskah film di industri Hollywood dan sempat menikah dengan seorang pria Amerika, Karl Jenning Pearson, antara tahun 1930 hingga 1932.
Pada suatu hari di tahun 1932, ketika sedang dilanda kegalauan, ia melihat poster film berjudul Bali: The Last Paradise di sebuah bioskop di Hollywood Boulevard. Film dokumenter ini begitu memikat hatinya hingga saat keluar dari bioskop, ia telah mengambil keputusan besar: meninggalkan dunia Barat dan mencari ‘surga’ itu sendiri—Bali.
Perjalanan ke Bali dan Identitas Baru
Setelah pelayaran panjang, Muriel akhirnya tiba di Batavia pada tahun 1932. Ia membeli mobil bekas dan melakukan perjalanan darat menuju Bali. Di tengah perjalanan, mobilnya mogok di depan gerbang yang ia kira sebuah pura. Ternyata, tempat itu adalah Puri Klungkung, kediaman seorang raja Bali, Anak Agung Gede Agung.
Kedekatannya dengan sang raja membuat Muriel diangkat sebagai anak angkat dan diberi nama baru: K’tut Tantri. Di Bali, ia menjalani kehidupan sebagai seniman, mempelajari budaya lokal, dan sempat membuka usaha hotel. Namun, semuanya berubah drastis saat Jepang menginvasi pada tahun 1942.
Meski banyak orang Eropa melarikan diri dari Bali, Tantri memilih bertahan dan pindah ke Jawa. Di masa pendudukan Jepang, keberadaannya penuh teka-teki. Ia dituduh sebagai kolaborator Jepang, namun dalam otobiografinya Revolt in Paradise (1960), ia mengklaim bahwa dirinya sempat ditangkap dan disiksa oleh tentara Jepang karena terlibat dalam jaringan bawah tanah anti-Jepang.
Terseret Arus Revolusi: Dari Jawa ke Dunia
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia memasuki masa revolusi. Tantri kemudian ikut bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, terutama di Surabaya, kota yang menjadi simbol perlawanan rakyat.
Di sana, ia bekerja bersama Bung Tomo di Radio Pemberontakan, menyebarkan semangat perjuangan ke dunia internasional melalui siaran radio berbahasa Inggris. Suaranya yang lantang membela Republik Indonesia menjadikannya dijuluki media asing sebagai “Surabaya Sue” atau “Si Penggugat dari Surabaya.”
Tak hanya lewat radio, ia juga aktif menulis untuk berbagai media, termasuk The Voice of Free Indonesia, yang isinya kerap membuat Belanda gusar karena membongkar praktik kolonialisme mereka.
Diplomasi Diam-diam dan Jejak Terakhir
Pada tahun 1946, ketika pusat pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta, Tantri sempat bekerja di Kementerian Pertahanan, menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, hingga Tan Malaka. Ia bahkan pernah berbagi mobil dengan Tan Malaka, tanpa menyadari siapa sosok yang bersamanya itu.
Dalam situasi sulit akibat Agresi Militer Belanda, Tantri diberi misi diplomatik rahasia untuk mencari dukungan internasional. Ia menyusup ke Singapura dan Australia untuk menggalang solidaritas global bagi Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan RI pada 1950, Tantri kembali ke tanah air dan bekerja di Kementerian Penerangan.
Akhir Hidup di Negeri Orang
Meskipun sempat mengabdikan hidupnya untuk Indonesia, tahun-tahun terakhir K’tut Tantri tidak banyak terdengar. Ia meninggal dunia di sebuah panti jompo di Sydney, Australia, pada 27 Juli 1997, dalam usia 99 tahun.
K’tut Tantri adalah potret langka dari seorang asing yang rela menanggalkan kenyamanan dunia Barat demi membela kemerdekaan bangsa yang bukan tanah kelahirannya. Ia bukan sekadar penonton sejarah, melainkan bagian dari denyut nadi revolusi Indonesia.
Namanya mungkin tak selalu disebut dalam buku sejarah resmi, namun jejak dan semangatnya akan selalu hidup dalam lembar-lembar perjuangan bangsa ini.(*)
Leave a comment