Di tengah derasnya komik-komik bertema fiksi dan petualangan fantasi, Beng Rahadian menyuguhkan sesuatu yang lebih sunyi namun justru lebih menghunjam: “Mencari Kopi Flores”. Sebuah komik perjalanan yang menggambarkan pencarian aroma kopi Flores sebagai jalan masuk dalam memahami manusia, ruang, dan identitas budaya.
Komik yang menggunakan format graphic travelogue ini bukan sekadar catatan perjalanan seorang pencinta kopi. Ia adalah grafis naratif yang merekam denyut kehidupan masyarakat Flores, dengan gaya bercerita yang tenang tetapi penuh intensitas visual. Kita tidak hanya diajak menyeduh kopi, tetapi juga menyelami relasi antara tanah, tradisi, dan tubuh.
Kartografi Rasa dan Cerita
“Mencari Kopi Flores” (2025) bisa dibaca sebagai serial narasi visual perjalanan rasa, setelah sebelumnya Beng mengerjakan “Mencari Kopi Aceh” (2016). Dalam keduanya, kopi bukan sekadar obyek, melainkan pintu masuk menuju ruang-ruang hidup yang terpinggirkan oleh wacana dominan. Kedua catatan perjalanan ini seperti menyentil “perayaan” minum kopi belakangan ini yang berselimutkan kekinian pada senja dan kenangan.
Kopi dalam graphic travelogue ini bisa dibaca sebagai metafora tentang relasi ekonomi yang timpang.
“Mencari Kopi Flores” menawarkan nuansa Timur Indonesia yang lebih kontemplatif, lebih sunyi, dan cerita tersembunyi. Dalam karya ini, Beng tampil sebagai pengarsip rasa yang mencatat bukan hanya biji kopi, melainkan juga tanah tempat ia tumbuh, tangan yang memetik, dan percakapan di antara seduhan.
Komik ini memperlihatkan pendekatan dokumenter grafis yang khas: narasi personal disandingkan dengan observasi sosial, sketsa pemandangan bertemu potret kehidupan sehari-hari, dan keheningan disandingkan dengan bunyi pelan dari seruputan kopi Kintamani yang dibawa Beng dari Jakarta. Melalui proyek “Mencari Kopi”-nya, Beng tengah menyusun atlas alternatif Indonesia yang bukan berbasis batas administratif, tetapi berdasarkan aroma, interaksi, dan narasi akar rumput.
Sebagaimana cerita perjalanan yang baik, muncul kemudian kisah-kisah kecil yang tertinggal di rumah-rumah penduduk, kebun kopi di lereng bukit, dan percakapan santai sepanjang jalan yang tak terjamah pembangunan infrastruktur pemerintah.
Dibandingkan dengan “Mencari Kopi Aceh”, komik ini lebih lugas namun sederhana dalam penceritaan. Memori kolektif muncul begitu saja tanpa perlu dijelaskan secara kompleks. Imaji mengenai pesona alam Nusa Tenggara Timur juga begitu menyeruak melalui bahasa gambar sehingga setiap panelnya membuat pembaca membeku sejenak, sembari menyimpan aroma kopi yang menguar.
Narasi Rasa dan Ruang Kritik
Yang menarik, Beng tidak menjadikan kopi semata-mata sebagai obyek, melainkan titik temu antara manusia dan lanskap. Dalam satu segmen, misalnya, ia menyisipkan kritik mengenai makanan pokok di Indonesia Timur yang perlahan digeser oleh nasi. Bersama kawannya saat makan jagung pulut, mereka memperbincangkan bagaimana negara menentukan jenis pangan yang seragam di setiap daerah. Seolah nasi menjadi simbol kesejahteraan. Mereka menyebutnya sebagai salah satu dosa warisan terbesar Orde Baru (hlm 31).
Pada segmen lain, Beng menyoroti situasi pemuda NTT yang banyak merantau ke luar negeri selepas SMA dan meninggalkan daerahnya yang cantik. Beng menceritakannya secara ironik (hlm 49–51). Ia juga terlibat dalam obrolan dengan perempuan muda petani kopi, di tengah pandangan patriarkal yang meragukan kapasitas perempuan dalam mengelola perkebunan (hlm 84–92).
Gumaman-gumaman di komik ini mengingatkan pada graphic travelogue karya Guy Delisle, “Pyongyang: A Journey in North Korea” (2003). Meski atmosfernya sangat berbeda, keduanya menyajikan pandangan personal terhadap suatu tempat melalui tubuh pengelana yang tak sepenuhnya netral. Delisle, misalnya, menggambarkan Pyongyang sebagai kota penuh pencitraan dan kontrol totalitarian yang mencekam namun sunyi.
Menutup dengan Permenungan
Kopi dalam graphic travelogue ini bisa dibaca sebagai metafora tentang relasi ekonomi yang timpang. Kita melihat kehidupan petani yang tekun menggarap kebun kopi, namun tetap bergulat dengan persoalan ekonomi. Mereka tak pernah benar-benar menjadi pihak yang diuntungkan dalam rantai nilai global. Akibatnya, menjadi petani kopi bukanlah impian anak muda Flores.
Kritik tersebut tidak dimunculkan Beng secara frontal, melainkan ditata dalam fragmen gambar dan percakapan yang tenang. Justru di sinilah kekuatannya sekaligus batasnya. Muncul pula pertanyaan: apakah pendekatan “lirih” ini cukup ampuh membongkar realitas ketimpangan struktural yang dihadapi petani?
Beng menggunakan pendekatan sekuensial yang mengalir pelan dan bersifat impresionistik, bertumpu pada atmosfer. Namun dalam konteks kopi—yang menyimpan sejarah kolonialisme, eksploitasi, dan perlawanan—komik ini terlalu sedikit memberi ruang bagi suara petani secara politis. Kita melihat mereka, tetapi jarang mendengar mereka sebagai subyek yang menyuarakan posisi.
“Mencari Kopi Flores” adalah karya penting karena membuka genre komik perjalanan berbasis etnografi visual. Namun justru karena kekuatan estetikanya, kita perlu membacanya secara kritis. Di tengah lembutnya garis dan suasana alam yang memesona, kita perlu bertanya: apa yang tidak tergambar? Siapa yang tidak bersuara? Dan bagaimana keindahan bisa sekaligus menjadi selimut untuk menutupi luka?
Dengan demikian, “Mencari Kopi Flores” bukan hanya bisa dinikmati, tetapi juga diperdebatkan—bagaikan obrolan di warung kopi. Hal itu menandakan bahwa graphic travelogue ini memang karya yang hidup.
Data Buku:
-
Judul: Mencari Kopi Flores
-
Penulis: Beng Rahadian
-
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
-
Tahun Terbit: Cetakan I, Juni 2025
-
Tebal: 156 halaman
-
ISBN: 9786020683560
- Artikel Opini
- Beng Rahadian
- budaya NTT
- eksploitasi kopi
- etnografi visual
- graphic travelogue
- kartografi rasa
- ketimpangan ekonomi
- komik dokumenter
- komik Indonesia
- komik kontemplatif
- komik perjalanan
- kopi dan budaya
- kopi Flores
- kritik sosial
- makanan pokok lokal
- Mencari Kopi Flores
- narasi visual
- Opini
- pemuda NTT
- perempuan petani
- petani kopi
- tradisi lokal
- warisan Orde Baru
Leave a comment