Pada tahun 1947, seorang anak muda berusia 23 tahun yang bekerja di harian Waspada Medan mendapat tugas penting: meliput suasana revolusi di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Kota itu tengah bergolak akibat Agresi Militer Belanda. Anak muda itu bernama Sitor Situmorang.
Awal Karier Jurnalistik dan Penjara Wirogunan
Di Yogyakarta, Sitor melaporkan suasana perjuangan kepada masyarakat Sumatera dan wilayah lainnya melalui Waspada dan kantor berita Antara. Tapi perjuangannya tak berhenti di tulisan. Pada Desember 1948, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, Sitor ditangkap oleh Nefis (Netherlands Forces Intelligence Service) dan dipenjara di Wirogunan hingga Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 1949.
Asal-Usul dan Pendidikan
Sitor lahir pada 2 Oktober 1924 di Harianboho, sebuah desa di kaki Bukit Pusuk Buhit, Samosir, Sumatera Utara. Nama aslinya adalah Raja Usu, namun karena sifatnya yang lincah, ia dijuluki “si Pitor-pitor” oleh kakaknya—yang kemudian diabadikan sebagai nama resminya oleh gurunya: Sitor.
Berada di lingkungan keluarga adat Batak yang progresif, Sitor sudah meninggalkan kampung halamannya sejak kecil untuk mengejar pendidikan di Balige, lalu melanjutkan ke MULO di Tarutung pada 1938. Menjelang kedatangan Jepang, ia pindah ke Batavia dan bersekolah di AMS Salemba. Niatnya untuk melanjutkan ke sekolah hukum pupus karena pendudukan Jepang.
Mendengar Panggilan Revolusi
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Sitor ikut arus revolusi nasional. Ia aktif dalam badan perjuangan Sumatera Utara dan bekerja di media seperti Suara Nasional dan kemudian Waspada. Di masa inilah bakatnya sebagai penulis mulai bersinar.
Jalan Menuju Penyair Besar
Pada 1948, Sitor mulai menulis puisi. Ia juga menjalin hubungan erat dengan tokoh-tokoh Angkatan 45 seperti Chairil Anwar dan Asrul Sani. Kritik sastra terkemuka A. Teeuw bahkan menyebut Sitor sebagai penyair terkemuka pasca Chairil.
Tahun 1950, Sitor mendapat kesempatan belajar ke Eropa melalui undangan Sticusa dan sempat bekerja di Kedutaan RI di Paris. Ia kembali ke Indonesia pada 1953 dan mulai produktif menulis. Kumpulan puisinya yang pertama, Surat Kertas Hijau, terbit tahun itu.
Tak hanya puisi, Sitor juga menulis skenario film Darah dan Doa (1950), film pertama Indonesia yang disutradarai oleh Usmar Ismail.
Sastrawan Marhaenis dan Panglima Kebudayaan
Pada 1954, Sitor bergabung dengan PNI dan menjadi pemikir kebudayaan yang dekat dengan ajaran Sukarno. Ia menulis risalah Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia (1956) dan menyebut marhaenisme sebagai “rumusan iklim pemikiran Indonesia”. Ia juga mengepalai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), sayap kebudayaan PNI.
Melalui risalah Sastra Revolusioner (1965), Sitor menegaskan bahwa sastra harus berpihak pada rakyat dan menjadi alat perjuangan sosialisme. Ia menolak seni yang elitis dan individualistik, menjadikan sastra sebagai alat pembebasan sosial.
Gugur dalam Badai Politik 1965
Namun, gelombang politik 1965 mengakhiri kiprah politik dan kebudayaannya. Sitor ditangkap pasca-G30S tanpa pengadilan dan dipenjara selama delapan tahun oleh rezim Orde Baru.
Bangkit dan Terus Berkarya
Setelah bebas pada 1975, Sitor kembali menulis dengan semangat luar biasa. Di tengah represi Orde Baru, ia menerbitkan Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977), Danau Toba (1981), hingga karya anak-anak seperti Gajah, Harimau dan Ikan (1981).
Pada 1990-an, ia memperluas cakrawala tulisannya ke sejarah dan antropologi melalui Guru Samalaing dan Modigliani (1993), Toba Na Sae (1993), dan autobiografinya Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1981).
Menjelang usia senja, ia tetap produktif: menerbitkan cerpen Salju di Paris (1994), Kisah Surat dari Legian (2001), dan puisi Biksu Tak Berjubah (2004). Ia juga menggabungkan ulang buku sejarah budayanya menjadi Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII–XX (2004).
Akhir Perjalanan
Sitor Situmorang wafat pada 21 Desember 2014 di Apeldoorn, Belanda, pada usia 90 tahun. Ia meninggalkan jejak sebagai penyair revolusioner yang setia pada rakyat dan tanah kelahirannya. Sitor adalah simbol bahwa sastra dan ideologi bisa bersatu dalam upaya membangun peradaban bangsa.(*)
Leave a comment