Home Historis Rohingya Nestapa Tanpa Kewarganegaraan di Tengah Bara Konflik Myanmar
Historis

Rohingya Nestapa Tanpa Kewarganegaraan di Tengah Bara Konflik Myanmar

Krisis Rohingya di Myanmar: Sejarah diskriminasi, pengusiran brutal, dan pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Simak latar belakang, peran militer, hingga nasib pengungsi di kamp Cox's Bazar, Bangladesh.

Share
Rohingya Nestapa Tanpa Kewarganegaraan di Tengah Bara Konflik Myanmar
Share

Di negara bagian Rakhine, Myanmar, lebih dari satu juta etnis Muslim Rohingya terus hidup dalam bayang-bayang diskriminasi sistematis dan penganiayaan brutal. Sejak lama, pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara, menjadikan mereka kelompok tanpa kewarganegaraan yang paling terpinggirkan di Asia Tenggara.

Puncak krisis terjadi pada Agustus 2017. Serangan kelompok militan Rohingya, yang menamakan diri mereka Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA), terhadap pos-pos militer dan kepolisian menewaskan lebih dari 70 orang. Sebagai respons, militer Myanmar melancarkan operasi balasan berskala besar, yang oleh PBB disebut sebagai “contoh pembersihan etnis.” Ratusan desa dibakar, ribuan nyawa melayang, dan lebih dari 700.000 orang terpaksa mengungsi ke Bangladesh. Kini, total lebih dari satu juta pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi penuh penderitaan di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh.

Situasi mereka semakin memburuk pada Maret 2021, ketika kebakaran besar melanda kamp pengungsi, menghancurkan tempat tinggal dan fasilitas vital. Pemerintah junta militer Myanmar menolak mengakui hak para pengungsi untuk kembali, menutup harapan akan rekonsiliasi.

Narasi Resmi, Prasangka Sosial

Di tengah tragedi kemanusiaan ini, narasi resmi pemerintah Myanmar tetap membingkai konflik sebagai respons militer terhadap terorisme. Istilah “Rohingya” nyaris tidak diakui secara resmi. Di Yangon, masyarakat umum lebih mengenal mereka dengan sebutan “Bengali”—istilah bermuatan diskriminatif yang menyiratkan bahwa mereka adalah imigran gelap dari Bangladesh.

Seorang pegawai negeri, Khin Maung Maung, menuduh media internasional menyebarkan informasi keliru dengan terlalu fokus pada penderitaan Rohingya dan mengabaikan penderitaan komunitas Buddha Rakhine. Sentimen semacam ini menyebar luas. Seorang pedagang mie di Yangon menyebut Rohingya sebagai “teroris,” sementara seorang pekerja transportasi air di Sittwe menggambarkan kamp-kamp Rohingya sebagai “terlalu berbahaya untuk dikunjungi.”

Laporan International Crisis Group mencatat bahwa lebih dari 90% populasi Myanmar menganut agama Buddha, dan narasi bahwa Islam adalah ancaman terhadap eksistensi agama Buddha telah meluas dalam materi keagamaan dan media lokal. Tokoh-tokoh radikal seperti Ashin Wirathu turut menyebarkan sentimen kebencian yang tidak hanya menyasar Rohingya, tetapi juga komunitas agama minoritas lainnya di berbagai negara bagian.

Demokrasi yang Gagal Melindungi

Transisi Myanmar ke sistem demokrasi setelah puluhan tahun kediktatoran militer sempat memberikan harapan. Namun, dalam kenyataan, demokrasi yang dibangun tampak rapuh dan elitis.

Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi Myanmar yang pernah diganjar Nobel Perdamaian, justru kehilangan kredibilitas di mata dunia internasional akibat sikap diamnya terhadap kekerasan terhadap Rohingya. Di dalam negeri, ironisnya, sikap tersebut malah menguatkan dukungan publik terhadapnya. “Dia berjalan di atas seutas tali,” kata Nay Win Oo, seorang pemandu wisata di Yangon, “dan banyak informasi yang salah beredar.”

Sebagai Penasihat Negara, Suu Kyi tidak memiliki kendali penuh atas militer. Konstitusi Myanmar memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada militer, yang kini dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing. Suu Kyi pun dianggap tidak memiliki cukup insentif politik untuk menentang tindakan brutal terhadap Rohingya, karena tidak ada tekanan berarti dari basis pendukungnya.

Konflik yang Meluas dan Ketidakpastian Myanmar

Situasi semakin memburuk sejak kudeta militer Februari 2021. Tiga kelompok etnis bersenjata di Negara Bagian Shan, Kayah, dan Rakhine membentuk koalisi dan melancarkan serangan besar-besaran terhadap pos militer dan kepolisian. Senjata berat dan pesawat tak berawak digunakan. Myanmar kini dilanda konflik berskala nasional, dan PBB melaporkan lebih dari dua juta warga sipil mengungsi akibat kekerasan yang tak kunjung reda.

Di Rakhine, konflik bersenjata antara etnis Rohingya dan militer Myanmar kembali memanas. Ketegangan yang telah berakar sejak kolonialisme Inggris ini diperparah oleh gelombang kekerasan sebelumnya, terutama pada tahun 2012. Dua gelombang besar kekerasan kala itu menyebabkan lebih dari 100.000 orang Rohingya mengungsi, dan menewaskan ratusan orang.

Kelompok nasionalis Buddha seperti MaBaTha dan gerakan 969 terus menyuarakan kampanye anti-Muslim—meminta pemboikotan bisnis milik Muslim dan pengusiran Rohingya dari Myanmar. Gerakan-gerakan ini memperparah retakan sosial dan menyuburkan konflik horizontal di berbagai wilayah.

Cahaya Kecil di Tengah Gelap

Meski prasangka dan kekerasan mengakar kuat, masih ada suara-suara harapan. Liam Ngaio Nuam, seorang mahasiswa keperawatan Kristen berusia 25 tahun, menyatakan, “Kedua belah pihak menderita dan miskin. Saya ingin situasi yang stabil dan damai untuk semua.”

Sayangnya, suara seperti Liam jarang terdengar di tengah dominasi nasionalisme etnis dan agama yang dipelihara oleh kekuasaan. Dengan militer yang masih memegang kendali utama dan penolakan atas tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM, prospek keadilan bagi Rohingya tampaknya masih jauh.

Krisis yang Belum Usai

Krisis Rohingya bukan hanya soal pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga kegagalan mendalam dalam membangun negara-bangsa yang inklusif. Ketika satu kelompok etnis didefinisikan sebagai “asing” di tanah tempat mereka lahir dan hidup selama berabad-abad, maka negara telah gagal menjalankan fungsi utamanya: melindungi seluruh warga negaranya tanpa kecuali.

Selama identitas Rohingya masih ditolak, selama kamp-kamp pengungsian masih berdiri tanpa solusi jangka panjang, dan selama kekuasaan militer masih menekan suara-suara damai, maka tragedi ini akan terus menjadi noda hitam dalam sejarah kemanusiaan Asia Tenggara.(*)

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Kenapa Indonesia 1 Mei Jadi Hari Buruh Sedunia? Ini Sejarah Lengkapnya

1 Mei: Hari Buruh Sedunia dan Akar Sejarahnya Hari Buruh Sedunia atau...

Siapa Penemu Nama Indonesia? Ini Sejarah Lengkapnya

Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945, nama Indonesia sudah hidup dalam denyut pergerakan...

Che Guevara Sang Revolusioner yang Juga Seorang Fotografer Jalanan Hebat

Ernesto “Che” Guevara dikenal dunia sebagai ikon revolusi Amerika Latin dan simbol...

Akhir Kisah Pandawa: Perjalanan Menuju Surga Setelah Baratayudha

Setelah perang Baratayudha usai, Pandawa berhasil membangun kembali kerajaan Astinapura menjadi negeri...