Tokoh buruh militan dari Yogyakarta ini pernah mengguncang Hindia Belanda dengan ribuan pemogokan. Tapi namanya jarang disebut dalam buku sejarah.
Namanya tak sering muncul dalam daftar pejuang kemerdekaan Indonesia. Tapi pada masanya, Soerjopranoto adalah salah satu pemimpin gerakan buruh paling disegani, bahkan kerap disejajarkan dengan tokoh seperti Semaun.
Selain dikenal sebagai “Raja Mogok”, Soerjopranoto juga merupakan tokoh penting dalam Sarekat Islam (SI). Ia pernah memimpin SI cabang Yogyakarta dan turut membentuk arah gerakan rakyat melawan kolonialisme Belanda.
Lebih menarik lagi, Soerjopranoto adalah kakak kandung dari Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Di era 1920-an, kakak-beradik ini menjadi figur penting yang menggoyang tatanan kolonial.
Latar Belakang: Lahir dari Priayi, Dekat dengan Rakyat
Soerjopranoto lahir pada 11 Agustus 1871 dengan nama kecil Iskandar, dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Pangeran Suryaningrat, adalah keturunan Paku Alam III. Meski berdarah priayi, ia dan adiknya justru tumbuh dekat dengan rakyat kecil karena sejak kecil dititipkan pada pamannya di desa.
Pengalaman itu membentuk kepekaan sosialnya. Iskandar kecil dikenal suka membantah guru Belanda dan menentang tatanan feodal. Bahkan, ia pernah menggergaji gelar “Raden Mas” dari papan namanya sendiri.
Langkah Awal di Dunia Pergerakan
Setelah lulus OSVIA Magelang dan sekolah pertanian di Bogor, Soerjopranoto mulai aktif di dunia organisasi. Di Bogor, ia bertemu dengan Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), tokoh yang kelak mendirikan Indische Partij bersama Ki Hajar dan Tjipto Mangunkusumo.
Pada 1908, ia mencoba membentuk perhimpunan pelajar bersama anak-anak STOVIA, namun gagal. Tak lama kemudian, Boedi Oetomo (BO) lahir dan ia langsung bergabung sebagai sekretaris BO cabang Yogyakarta.
Namun, semangat radikalnya bertolak belakang dengan gaya “kalem” BO. Ia pun keluar dan mendirikan organisasi sosial bernama Adhi Dharma, yang membantu rakyat miskin.
Tahun 1918, terjadi kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Yogyakarta. Soerjopranoto lantas mendirikan Arbeidsleiger (tentara buruh) yang memberi bantuan bagi buruh korban PHK.
Setahun kemudian, ia mendirikan Personeel Fabriek Bond (PFB)—Ikatan Buruh Pabrik. Jumlah anggotanya melonjak dari 700 menjadi 10.000 hanya dalam waktu dua tahun. PFB menjadi serikat buruh terbesar dan paling militan di Jawa.
Ia juga menerbitkan koran “Boeroeh Bergerak”, dan sering berpidato membandingkan ketimpangan upah antara kuli dan pegawai Belanda. Julukan “De Stakingskoning” (Raja Mogok) pun melekat padanya.
Tahun 1920, PFB menyerukan pemogokan umum nasional. Namun, sindikat pabrik gula justru menaikkan upah untuk mencegah aksi dan meminta bantuan pemerintah kolonial.
Soerjopranoto dipanggil ke Keresidenan Yogyakarta dan ditekan untuk membatalkan aksi. Akhirnya, banyak cabang PFB mundur. Pemogokan gagal, dan PFB pun melemah.
Bersamaan dengan itu, Sarekat Islam juga pecah. Soerjopranoto memilih berada di pihak SI Putih, kubu moderat yang berseberangan dengan kelompok kiri seperti Semaun. Gerakan buruh pun mulai berpindah ke tangan VSTP dan PKI.
Dipenjara Tiga Kali dan Dikeluarkan dari Sarekat Islam
Walau lebih moderat, Soerjopranoto tetap kritis terhadap kolonialisme. Ia beberapa kali ditangkap karena pelanggaran pidato (spreek-delict) dan delik pers. Ia dipenjara tiga kali:
-
1923 di Malang (3 bulan)
-
1926 di Semarang (6 bulan)
-
1933 di Bandung (16 bulan)
Tahun 1933, ia dipecat dari SI setelah membongkar kasus korupsi bersama Soekiman Wirjosandjojo. Sejak itu, ia menarik diri dari politik praktis dan lebih fokus mengajar di sekolah Adhi Dharma.
Pasca kemerdekaan, Soerjopranoto turut mengajar di Taman Siswa, sekolah yang didirikan oleh adiknya, Ki Hajar Dewantara. Ia wafat pada 15 Oktober 1959 di Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 88 tahun.
Presiden Sukarno menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional atas jasanya dalam perjuangan melawan kolonialisme.
Sejarah pergerakan buruh di Indonesia tak bisa dilepaskan dari nama Soerjopranoto. Ia adalah pelopor serikat buruh terbesar, penggagas pemogokan umum, dan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi di era kolonial.
Meski kiprahnya luar biasa, nama Soerjopranoto kerap luput disebut, tertutup bayang-bayang tokoh besar lainnya. Padahal, ia bukan hanya “Raja Mogok”, tapi juga simbol keberanian melawan ketimpangan dari balik meja-meja pabrik.(*)
Leave a comment