V-Today, NASIONAL – Pembayaran bunga utang pemerintah Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan mencapai rekor tertinggi pada 2025. Pemerintah tercatat merencanakan pembayaran bunga utang sebesar Rp552,9 triliun tahun ini, naik signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, pembayaran bunga utang pada 2020 hanya sebesar Rp314,1 triliun. Angka ini naik menjadi Rp343,5 triliun pada 2021, kemudian meningkat lagi menjadi Rp386,3 triliun di 2022 dan Rp439,9 triliun pada 2023. Outlook realisasi pembayaran bunga utang pada 2024 pun tercatat sebesar Rp499 triliun.
Hingga semester pertama 2025, atau per akhir Juni, pemerintah telah merealisasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp257,1 triliun dari total target Rp552,9 triliun. Artinya, masih terdapat sisa anggaran sebesar Rp295,8 triliun yang harus disiapkan untuk pembayaran bunga utang hingga akhir tahun ini.
Mengutip dokumen Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester Pertama Tahun Anggaran 2025, tercatat bahwa realisasi pembayaran bunga utang tersebut telah mencapai 46,5% dari total pagu.
“Realisasi tersebut terdiri atas realisasi pembayaran bunga utang dalam negeri senilai Rp235,15 triliun atau 43,7% dari pagu,” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut, dikutip pada Selasa (8/7/2025).
Selain itu, pemerintah juga telah membayarkan bunga utang luar negeri sebesar Rp21,9 triliun, atau 39,7% dari total pagu tahun ini.
Pemerintah menjelaskan bahwa pembayaran bunga utang merupakan konsekuensi dari pembiayaan defisit APBN melalui pengadaan utang, yang menjadi salah satu beban fiskal penting. Beban ini perlu dikelola secara hati-hati agar tidak mengganggu stabilitas keuangan negara. Pembayaran bunga utang mencakup kupon atas Surat Berharga Negara (SBN), bunga atas pinjaman, serta biaya lain akibat program pengelolaan utang.
Fluktuasi pembayaran bunga utang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Utang Jatuh Tempo 2026 Meningkat Tajam
Tak hanya bunga utang yang meningkat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga menghadapi beban utang jatuh tempo yang membengkak pada 2026. Berdasarkan data terbaru per 30 April 2024, jumlah utang jatuh tempo mencapai Rp833,96 triliun, naik dari sebelumnya yang tercatat sebesar Rp803,19 triliun.
Kenaikan ini sebesar Rp30,77 triliun, namun belum dijelaskan apakah penyebabnya karena fluktuasi nilai tukar rupiah atau peningkatan penerbitan obligasi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto belum merespons pertanyaan Bisnis apakah kenaikan tersebut terdorong pergerakan nilai tukar rupiah maupun penerbitan obligasi yang lebih banyak.
Pasalnya, utang jatuh tempo tersebut terdiri atas surat berharga dan pinjaman dalam mata uang rupiah maupun valuta asing (valas).
Kementerian Keuangan memperkirakan nilai tukar rupiah pada 2026 akan berada di kisaran Rp16.500 hingga Rp16.900 per dolar AS. Nilai ini lebih lemah dibandingkan kurs saat ini dan posisi pada April 2024.
Merujuk data sebelumnya, utang jatuh tempo 2026 terdiri atas Rp703 triliun dalam bentuk SBN dan Rp100,19 triliun berupa pinjaman. Namun, dalam data terbaru, tidak dijelaskan secara rinci komposisinya. Ditegaskan bahwa total Rp833,96 triliun itu sudah termasuk SBN burden sharing dengan Bank Indonesia senilai Rp154,5 triliun.
Secara tren, utang jatuh tempo pemerintah akan mencapai puncaknya pada 2026 dan mulai menurun perlahan hingga 2030. Rinciannya sebagai berikut:
-
2026: Rp833,96 triliun
-
2027: Rp821,6 triliun
-
2028: Rp794,42 triliun
-
2029: Rp749,71 triliun
-
2030: Rp636,05 triliun
Situasi ini telah diwaspadai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pemerintah bersama Bank Indonesia sebelumnya menyepakati skema burden sharing melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dengan jatuh tempo maksimal 7 tahun.
Sebagian dari utang burden sharing tersebut mulai jatuh tempo pada 2025. Untuk SUN yang diterbitkan melalui kesepakatan tahun 2022, jatuh temponya akan selesai maksimal pada 2029, bertepatan dengan akhir pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.(*)
3 Comments