V-Today, INTERNASIONAL – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 resmi dibuka di Rio de Janeiro, Brasil, Minggu (13/7). Namun, pertemuan penting negara-negara berkembang ini berlangsung tanpa kehadiran Presiden China Xi Jinping.
Untuk pertama kalinya sejak lebih dari satu dekade terakhir, Xi memilih absen dan mengirim Perdana Menteri Li Qiang sebagai wakilnya.
Langkah ini cukup mengejutkan, mengingat China adalah motor utama BRICS aliansi strategis negara-negara Global South yang kini beranggotakan 10 negara: Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, UEA, Iran, Ethiopia, dan Indonesia.
“BRICS tetap penting bagi China. Tapi fokus Xi saat ini ada di dalam negeri dan penataan ekonomi jangka panjang,” kata Chong Ja Ian, pakar geopolitik dari Universitas Nasional Singapura.
Kenapa Xi Jinping Absen?
Absennya Xi terjadi di tengah tekanan global, terutama dari kebijakan agresif Presiden AS Donald Trump. Mulai 9 Juli, puluhan negara termasuk anggota BRICS terancam dikenakan tarif dagang tinggi jika tak sepakat dalam negosiasi ulang.
Namun, para analis menilai keputusan Xi bukan sinyal pelemahan BRICS. Sebaliknya, China justru ingin tetap mendorong agenda strategis seperti kerja sama energi dan pengurangan dominasi dolar AS (de-dolarisasi) melalui kehadiran Li Qiang.
Putin Juga Absen, Modi Dapat Panggung
Xi bukan satu-satunya pemimpin yang absen. Presiden Rusia Vladimir Putin juga hanya hadir secara virtual karena risiko penangkapan di Brasil negara yang meratifikasi Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Absennya dua tokoh besar ini membuat PM India Narendra Modi mendapat sorotan utama. Modi hadir langsung di Brasil untuk KTT sekaligus lawatan kenegaraan. Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa juga dipastikan hadir.
Trump Naikkan Tarif Impor China 20%, Beijing Balas Strategis
Sementara itu, Presiden Indonesia Prabowo Subianto dijadwalkan tiba di Rio sebagai wakil negara anggota baru BRICS.
Fokus: De-dolarisasi dan Sistem Pembayaran Baru
Isu utama KTT tahun ini adalah perluasan sistem pembayaran antaranggota menggunakan mata uang lokal, bukan dolar AS. Ini menjadi prioritas banyak anggota yang sedang terkena sanksi, seperti Rusia dan Iran.
“Tujuannya jelas: kurangi ketergantungan terhadap dolar dan biaya transaksi global,” kata Brian Wong, analis dari Universitas Hong Kong.
Meski begitu, ide lama soal “mata uang BRICS bersama” belum akan dibahas serius. Presiden Trump sebelumnya mengancam akan memberlakukan tarif 100% pada negara BRICS yang mendukung penggantian dolar.
BRICS: Tumbuh Tapi Rawan Fragmentasi
Sejak lahir tahun 2009, BRICS berambisi menjadi tandingan G7. Namun perbedaan sistem politik, ekonomi, dan kepentingan di antara anggotanya sering menghambat langkah konkret.
Meski demikian, pengaruh BRICS di Global South terus tumbuh apalagi di tengah kebijakan luar negeri AS yang semakin agresif dan unilateral.
“Bagi China, BRICS tetap alat penting untuk menggalang kekuatan global non-Barat,” tegas Wong.
KTT Rio menjadi ajang uji coba: apakah BRICS bisa tampil solid dalam mendorong tatanan dunia multipolar, atau justru mulai retak di dalam?(*)
Leave a comment